Hukum Menggolong-Golongkan Manusia, Menganggap Sepele Penggunaan Istilah Murtad Terhadap Orang Lain
HUKUM MENGGOLONG-GOLONGKAN MANUSIA DAN MENGANGGAP SEPELE PENGGUNAAN ISTILAH MURTAD TERHADAP ORANG LAIN
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Pertanyaan:
Syaikh Salih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Termasuk persoalan yang memprihatinkan sekarang ini adalah kami dapati sebagian orang berusaha mengkotak-kotakkan kaum muslimin dan mereka merasa senang dengan perbuatan tersebut?
Jawaban.
Seorang muslim tidak dibolehkan menyibukkan dirinya mengomentari orang lain serta memecah belah persatuan kaum muslimin. Memvonis atau menghakimi orang lain tanpa ilmu termasuk tindak pengrusakan yang dilarang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” [Al-Isra/17:36]
Seorang muslim seyogyanya melakukan perbaikan dan menjaga persatuan kaum muslimin serta berusaha merapatkan barisan mereka di atas panji-panji kebenaran. Bukan justru memecah belah Ahlus Sunnah dan memilah-milah mereka menjadi beberapa golongan dan kelompok. Yang dituntut darinya jika melihat kesalahan di tengah kaum muslimin adalah berusaha memperbaikinya. Jika dilihatnya ada celah untuk berpecah maka ia wajib berusaha menyatukannya. Inilah yang dituntut dari seorang muslim. Yaitu menyeru kepada persatuan dan menambal celah-celah perpecahan. Usaha itu merupakan bentuk nasihat yang sangat agung bagi penguasa dan segenap kaum muslimin.
Pertanyaan.
Syaikh Salih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Seringkali kami perhatikan segelintir penuntut ilmu terlalu mudah memvonis kafir terhadap kaum muslimin. Bahkan segelintir orang ini menuntut kaum muslimin supaya melaksanakan hukuman mati atas orang yang telah divonis kafir –menurut mereka- apabila penguasa (pemerintah) tidak melaksanakannya. Bagaimana pendapat Anda dalam masalah ini?
Jawaban.
Pelaksanaan hukuman pidana merupakan wewenang penguasa semata. Tidak setiap orang berhak menegakkan hukum pidana ini. Sebab bila demikian prakteknya jelas akan terjadi kekacauan, kerusakan dan keresahan di kalangan masyarakat. Dan juga akan menyalakan api pemberontakan dan fitnah. Pelaksanaan hukuman merupakan wewenang penguasa muslim.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تَعَافَوْا الْحُدُوْدَ فِيْمَا بَيْنَكُمْ فَإِذَا أَبْلَغَتِ الحُدُوْدُ السُّلْطَانَ فَلَعَنَ اللهُ الشَّافِعَ وَ الْمُشَفَّعَ
“Saling memaafkanlah di antara kalian, namun jika urusannya telah diangkat kepada sultan (penguasa), maka Allah melaknat pemberi rekomendasi dan terpidana yang direkomendasi.”
Salah satu kewajiban dan wewenang sultan dalam Dienul Islam adalah melaksanakan hukuman setelah diproses secara syar’i oleh mahkamah syariat atas terdakwa pelaku kejahatan yang berhak mendapat hukuman, seperti hukuman atas orang murtad, pencuri dan lain sebagainya.
Walhasil, pelaksanaan hukuman merupakan wewenang sultan. Jika seandainya kaum muslimin tidak memiliki sultan (penguasa) maka cukuplah dengan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar serta dakwah kepada jalan Allah dengan hikmah, pengajaran yang baik serta perdebatan dengan cara yang terbaik. Individu-individu masyarakat tidak berhak melaksanakan hudud (hukuman). Sebab sebagaimana yang kami sebutkan, dapat menimbulkan kekacauan, pemberontakan dan fitnah. Dan juga dapat menimbulkan mafsadat yang lebih besar daripada mashlahatnya. Salah satu kaidah syar’i yang disepakati bersama menyatakan: “Menolak mafsadat lebih diutamakan daripada meraih maslahat.”
[Disalin dari kitab Muraja’att fi Fiqhil Waqi’ As-Siyasi wal Fikri ‘ala Dhauil Kitabi wa Sunnah, edisi Indonesia Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur’an & As-Sunnah, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad Ar-Rifai. Penerbit Darul Haq – Jakarta, Penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]